Persoalan Menyebut Nama Maupun Predikat Allah dengan Selain Bahasa 'Arab | KASYAF (Konsultasi Syari'ah & Fiqih) | Bahtsul Masail Tarjih Taujih Khutbah
KASYAF (Konsultasi Syari'ah & Fiqih) No.
*424 - Persoalan Menyebut Nama Maupun Predikat Allah dengan Selain Bahasa 'Arab*
➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖
_Pertanyaan_
🚨 Memangnya boleh ya menyebut Allah dengan Sang Hyang Wenang atau semacamnya? Kok kayak agama Hindu.
📝 Ditanyakan oleh Ibu *Emira Bahalwan* (+62 822-6437-0503) dari Surabaya pada _14 Oktober 2021_ via WhatsApp tanpa editing
➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖
_Jawaban_
🏘 Logika termudah untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah andai Allah tidak boleh kita beri Asma' dan Shifat dalam bahasa selain Arab padahal sesuai dengan dalil yang berbahasa Arab maka kita tidak boleh melabeli Allah dengan predikat Tuhan (dalam bahasa Indonesia dan Kristen Indonesia), Pengeran (dalam bahasa Jawa dan Kristen Jawi), Gusti (dalam bahasa Sunda), God/Lord/Divine (dalam bahasa Inggris), Seigneur (dalam bahasa Prancis), Archontas (dalam bahasa Yunani), Elohim (dalam bahasa Ibrani), Sang Hyang (dalam bahasa Hindu), atau bahasa lainnya di seluruh dunia. Itu semua predikat. Kalau Asma' dan Shifat memang harus tauqifi tapi tetap boleh diterjemahkan.
🛡 Memang ketika berdzikir atau berwirid, kita haram merapal Asma' dan Shifat Allah dalam selain bahasa 'Arab yang tauqifi. Hanya ketika dalam percakapan keseharian, di luar ritual ibadah mahdhah, kita boleh menyematkan predikat kepada Allah sesuai keagungan-Nya, tapi tetap yang kita maksud adalah Allah yang kita tuhankan, bukan tuhan lain.
📜 Rasulullah bersabda,
يَا أَبَا ذَرٍّ أَرْبَعَةٌ سُرْيَانِيُّونَ آدَمُ وَشِيثُ وَأَخْنُوخُ وَهُوَ إِدْرِيسُ وَهُوَ أَوَّلُ مَنْ خَطَّ بِالْقَلَمِ وَنُوح
_"Wahai Abu Dzarr, ada 4 Nabi yang berasal dari bangsa Suryani, yakni Adam, Syits; Akhnukh; yakni Idris, yaitu orang yang pertama kali menulis dengan pena; dan Nuh."_ *[Shahih Ibnu Hibban no. 361]* Adapun bahasa Arab baru digunakan sekitar masa Hud bin Abdullah bin Rabah bin Khulud bin Ad bin Aus bin Iram bin Sam bin Nuh, sebagaimana sabda Nabi,
وَأَرْبَعَةٌ مِنَ الْعَرَبِ: هُودٌ، وَشُعَيْبٌ، وَصَالِحٌ، وَنَبِيُّكَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم
_"Dan empat orang Nabi yang berasal dari Arab, yakni Hud, Syuaib, Shalih dan Nabimu Muhammad."_ *[Shahih Ibnu Hibban no. 361]*
🍊 Berikut contoh beberapa alih bahasa Asma'ul Husna ke dalam Bahasa Suryani
1. Barhatiyah (Dzat Yang Maha Suci) alias Al-Quddus
2. Karirin (Ya Allah)
3. Tatliihin (Mahasuci & Mahakuasa) alias Al-Jabbar
4. Thauraanin (Dzat Yang Maha Hidup) alias Al-Hayy
5. Mazjalin (Dzat Yang Mahaberdiri) alias Al-Qayyym
6. Tarqabin (Dzat Yang Maha Selamat) alias As-Salam
7. Barhasyin (Ya Allah Kabulkanlah)
8. Ghalmasyin (Dzat Yang Mahasuci) alias Al-Quddus
9. Qalnahaudin (Dzat Yang Maha Mendengar Dan Melihat) alias As-Sami' Al-'Alim
10. Barsyaanin (Dzat Yang Meliputi) alias Al-Muhith
11. Namuu Syalahin (Wahai Tuhan Yang Maha Mulia Engkau Adalah Allah)
12. Barhayuula (Mahasuci Allah)
13. Basykailakhin (Maha Agung Maha Pengasih Dan Maha Penyayang)
14. Qazmazin (Dzat Yang Memelihara) alias Al-Hafizh
15. Anghalulaithin (Dzat Yang Mahaagung Dan Mahabijaksana) alias Al-'Azhim Al-Hakim
16. Qabraatin (Dzat Yang Maha Agung) alias Al-Majid
17. Ghayaahaa (Dzat Yang Mahamulia) alias Al-Karim
18. Kaidahuuala (Dzat Yang Maha Kuasa Ialah Allah)
19. Syamkhaahir (Dzat Allah Yg Mahatinggi) alias Al-'Aliyy
20. Syamkhahiirin (Dzat Yang Maha Memutus)
21. Syamhaahiirin (Dzat Yang Mahakuasa) alias Al-'Aziz
22. Bikahthahuuniihin (Wahai Dzat Yang Maha Dahulu) alias Al-Awwal
23. Basyaarisyin (Dzat Yang Maha Kuasa Atas Segala Sesuatu) alias Qadir 'Ala Kulli Syai'
24. Thuunasyin (Wahai Dzat Yang Banyak Bersyukur) alias Asy-Syakur
25. Syamkhaa Baaruuhin (Yang Maha Kuasa Adalah Allah Yang Mahamulia)
26. Kadhahiirin (Mahasuci Allah) alias Subhanallah
27. Hauthiirin (Dzat Yang Mahakuat) alias Al-Qawiyy
28. Bazjalin (Dzat Yang Mahaesa) alias Al-Ahad
🗺 Mungkin kita merasa aneh dan asing mendengar translasi/terjemahan/alih bahasa untuk Asma' dan Shifat Allah karena kita semenjak lahir terbiasa dengan bahasa kita sendiri. Padahal bagi yang sejak lahir berbahasa Hindu, tentu akan mafhum jika mengenal Allah dengan translasi sesuai bahasa kesehariannya.
🏈 Contoh, Sang Hyang Wenang artinya Sang Mahakuasa atau Al-Qadir, Sang Hyang Widi artinya Sang Mahaesa atau Al-Ahad, dan seterusnya. Tentu kalau kita memaksudkan predikat tersebut sebagaimana keyakinan agama Hindu, maka kita kafir dan musyrik.
🌺 Mungkin ada pihak yang kontra, "Kan istilah Sang Hyang Widi, Sang Hyang Wenang dan selainnya digunakan penganut Hindu untuk menyebut tuhan-tuhan atau dewa-dewa mereka." Jawabnya, "Kata Tuhan dipakai penganut Kristen untuk menyebut Yesus, dipakai penganut Konghuchu untuk menyebut Thian Gong, dipakai penganut Sikh untuk menyebut Waheguru."
📒 Jika dipandang dari perspektif kaidah fiqhi,
الإشارة تقوم مقام العبارة
"Isyarat atau simbol merupakan ungkapan kata-kata yang penuh makna yang tersirat."
👑 Sebagai bahan komparasi, kita boleh mengucap salam kepada sesama muslim di luar shalat, yang notabene lafazh doa, dengan bahasa (kalam) dan shighat selain tauqifi (paten), disebutkan dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah berikut,
السَّلاَمُ وَرَدُّهُ بِالْعَجَمِيَّةِ كَالسَّلاَمِ وَرَدِّهِ بِالْعَرَبِيَّةِ، لأِنَّ الْغَرَضَ مِنَ السَّلاَمِ التَّأْمِينُ وَالدُّعَاءُ بِالسَّلاَمَةِ وَالتَّحِيَّةُ، فَيَحْصُل ذَلِكَ بِغَيْرِ الْعَرَبِيَّةِ، كَمَا يَحْصُل بِهَا
"Mengucapkan salam dan menjawabnya dengan bahasa non-Arab sama seperti mengucapkan salam dan menjawabnya dengan bahasa Arab. Ini karena tujuan salam adalah mendoakan keselamatan dan penghormatan. Dan itu bisa terwujud dengan selain bahasa Arab sebagaimana terwujud dengan bahasa Arab."
🎒 Tentu saja, shighat (diksi) salam yang tauqifi jelas lebih barakah dibanding yang terjemahan. Begitu pula, kita menyebut Allah berikut predikatnya dalam bahasa selain Asma' wa Shifat jelas lebih barakah daripada sekadar menyebut Tuhan, Pengeran, Gusti, Lord/God/Divine, dan lain-lain sebagaimana tersebut di awal kajian ini. Sekali lagi, saat melafazhkannya harus yang kita maksud adalah Allah Al-Wahid, bukan selain-Nya. Kata Ar-Rabb sendiri pada masa fatrah, bagi masyarakat Jahiliyyah tidak selalu digunakan hanya untuk Allah, tapi juga untuk tuhan-tuhan kecil mereka.
🌸 Begitu juga soal syahadat untuk masuk Islam, boleh bukan kalam yang tauqifi, yaitu bahasa lokal, dalam kitab Hasyiyah I’anah Ath-Thalibin sebagai berikut,
أي يحصل الإسلام بالتلفظ بالشهادتين ولواتى بهما بالعجمية إلى أن قال وإن احسن العربية
"Maksudnya sah Islamnya dengan sebab mengucapkan dua kalimat syahadat, sekalipun diucapkannya dengan menggunakan bahasa ajam (selain bahasa Arab, seperti bahasa Indonesia). Dan, walaupun ia sanggup mengucapkannya dengan bahasa Arab."
🪴 Lebih dari itu, bacaan dzikir yang tauqifi dalam shalat saja boleh dialihbahasakan ke bahasa masing-masing tapi hanya khusus bagi yang belum hafal dan bisa bahasa Nubuwwah. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Mughni Al-Muhtaj, juz 1, hlm. 117,
ومن عجز عنهما – أي التشهد والصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم وهو ناطق، (ترجم) عنهما وجوبا, لا إعجاز فيهما. أما القادر لايجوزله ترجمتهما، وتبطل به صلاته (ويترجم للدعاء) المندوب (والذكر المندوب) ندبا كالقنوت وتكبيرات الإنتقالات وتسبيحات الركوع والسجود (العاجز) لعذره (لا القادر) لعدم عذره (فى الأصح) فيهما. أما غير المأثور بأن إخترع دعاء أوذكرا بالعجمية في الصلاة فلا يجوز، انتهى
“Barang siapa yang tidak mampu membaca tahiyat dan shalawat kepada Nabi Muhammad sementara dia dapat berbicara maka bacaan tahiyat dan salawat harus diterjemahkan secara wajib karena dia mampu menerjemahkan keduanya. Sedangkan bagi orang yang hafal keduanya maka tidak diperbolehkan baginya menerjemah keduanya, dan bahkan shalatnya menjadi batal (jika dipaksakan menerjemahkan). Bagi orang yang tidak mampu diperbolehkan menerjemahkan doa dan dzikir yang disunahkan, seperti doa qunut, takbir perpindahan, takbir ruku' dan sujud, karena ketidakmampuannya, namun tidak diperbolehkan bagi orang yang mampu karena dia mampu untuk membaca dengan bahasa Arab. Demikian menurut pendapat yang shahih. Sedangkan untuk bacaan yang tidak dianjurkan Nabi, termasuk membuat doa dan dzikir sendiri selain bahasa Arab di dalam shalat maka hal itu tidak diperbolehkan (haram)”.
🌹 Kembali ke masalah penyebutan nama Allah dengan predikatnya. KH. M. Syafi’i Hadzami (Rais Syuriyah PBNU 1994-1999) menguraikan, “Akan tetapi di dalam suatu susunan kata dalam mukhathabah, adakalanya kita tidak bisa menghindarkan kata ‘Tuhan’ itu untuk diucapkan. Seperti kalimat ‘Siapakah Tuhan kita?’ maka dijawab ‘Tuhan kita adalah Allah.’ Dalam bentuk kalimat ini sudah barang tentu tidaklah lurus dari segi bahasa dan makna kalau kita ganti dengan ‘Siapakah Allah kita?’ lalu dijawab ‘Allah kita adalah Allah.’ Lain halnya dengan seruan, ‘Ya Tuhan!’ kita mufakat untuk mengganti dengan ‘Ya Allah.’ Ini pun tidak berarti bahwa kita tidak boleh mengucapkan ‘Ya Tuhanku’ dan ‘Ya Tuhan kami’ karena berapa banyak di dalam kitab suci Al-Quran dihikayatkan doa para anbiya yang mempergunakan ‘Rabbana’ yang kalau diterjemahkan ke dalam bahasa kita menjadi ‘Ya Tuhan kami!’... Tampaknya para penafsir Indonesia pun sudah konsensus untuk menerjemahkan lafal ‘rabbî’ dan ‘rabbanâ’ dengan ‘Tuhanku’ dan ‘Tuhan kami’. Tafsir manapun tidak ada yang menafsirkan ‘rabbî’ dengan ‘Allahku’ dan ‘rabbanâ’ dengan ‘Allah kami’ karena ‘rabbun’ itu nama pangkat. Pangkat itu sifat, maka tentu bisa diterjemahkan. Adapun lafzhul jalâlah atau lafal ‘Allah’ adalah ism ‘alam, nama pribadi tentu tidak diterjemahkan. Allah adalah nama bagi zat yang wajib wujud-Nya. sedang Tuhan adalah sifatnya. Karena para mutakallimin mengatakan bahwa makna ketuhanan adalah, اسْتِغْنَاؤُهُ عَنْ كُلِّ مَا سِوَاهُ وَافْتِقَارُ مَا عَدَاهُ اِلَيْهِ , ‘Terkaya-Nya daripada lain-Nya, dan yang lain-Nya berhajat kepada-Nya,’” *[Taudhih Al-Adillah, [Kudus, Menara Kudus: 1986], jilid VII, halaman 6]*
🌏 Analogi sederhananya, tentu kita tidak boleh menerjemahkan Presiden Bush dengan Presiden Semak-semak. Karena Bush adalah nama dan kata presiden adalah kata predikat. Kata Allah adalah nama dan Tuhan adalah kata predikat.
🍉 ‘Allah’ merupakan nama yang khusus dan tidak ada sesuatu pun yang memiliki nama itu selain Allah Rabbul ‘Alamin. Bahkan, sejumlah ulama seperti Imam Syafii, al-Khithabi, Imam Haramain, Imam Ghazali, dan sebagainya menyatakan, bahwa lafazh Allah adalah isim jamid, dan tidak memiliki akar kata. Menurut para ulama ini, kata Allah bukan ‘musytaq’ (turunan dari kata asal). Salah satu bukti bahwa lafaz Allah tidak ”musytaq” adalah jika ditambahkan ”huruf nida” (huruf panggilan, seperti huruf ”ya nida’” maka tidak berubah menjadi ”Yaa ilah”, tetapi tetap ”Yaa Allah”. Sedangkan jika huruf nida ditambahkan pada kata ”Ar-Rahman”, misalnya, maka akan berubah menjadi ”Yaa Rahman” (perangkat ta’rif-nya hilang). *[Tafsir Al-Quran Al-‘Adhim li Ibnu Katsir, (Riyadh: Maktabah Darus Salam, 1994)]*
🌈 Jika masih kurang yakin dengan penjelasan ini, silakan baca sendiri Surah Al-Mulk lalu cermati, adakah lafzh al-jalalah atau kata Allah dalam ayat-ayatnya? Namun sekali lagi, tetap, siapa saja yang sudah bisa belajar Islam, maka pelan-pelan meninggalkan bahasa selain Arab khusus untuk dzikir/wirid menggunakan Asma' Wa Shifat, demi meraih barakah yang lebih hebat dan melestarikan tradisi Islam yang tauqifi.
📝 Dijawab oleh Mas *Jibril* (Haji Brilly)
➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖
📺 🇧 🇨 🇶 🇺 🇫 🇮 (Broadcast Quantum Fiqih) telah melayani KASYAF (Konsultasi Syariah dan Fiqih) hampir 450 sesi secara gratis/free tanpa syarat, baik secara tatap muka atau jarak jauh, baik lisan maupun tertulis, baik masalah Aqidah, Tafsir, Hadits, Fiqih, Akhlaq, Keluarga, dan lain sebagainya. Sampaikan pertanyaan melalui ustadzjibril@gmail.com atau http://wa.me/6282140888638. Jangan lupa sampaikan *nama dan kota domisili*. Jika pertanyaan mengandung aib, maka identitas penanya akan dirahasiakan.
🎒 Saldo akhir infaq secara umum hingga 15 Oktober 2021 sebanyak *Rp 6.118.000,-*. Terimakasih para pemberi amanah titipan infaq. Kami tidak pernah meminta infaq apalagi mengedarkan proposal permohonan infaq.
Komentar
Posting Komentar