Nafs Muthmainnah (Jiwa Yang Tenang) Menurut Psikologi



Oleh H. Brilly Yudho Willianto, S. Pd., M. Pd. 

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ﴿٢٧﴾ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً﴿٢٨﴾فَادْخُلِي فِي عِبَادِي

“Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Rabb-mu dengan hati yang puas lagi di-ridhai-Nya! Kemudian masuklah ke dalam (jamaah) hamba-hamba-Ku, Dan masuklah ke dalam surga-Ku!” [QS. Al-Fajr (89):27-30]

Kata Ibnu Katsir, ini adalah panggilan Allah pada seseorang menjelang sakratul maut, juga ketika bangkit pada hari kiamat. Sebagaimana para malaikat memberikan kabar gembira seperti ini pada seorang mukmin ketika ia menjelang sakratul maut dan bangkit dari kuburnya. Sam halnya seperti ayat ini. [Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 7/564] 

Prof. Dr. Muhammad ‘Ali Ash-Shabuni pun senada dengan kesimpulan ini, beliau nyatakan, “Ini sebagai panggilan penghargaan kepada jiwa yang bersih dan suci di saat ajal menjelang sehingga Allah ridlo kepadanya, kemudian menggolongkannya ke dalam hamba-hambaNya dan memasukkannya ke surga.”

Namun rupaya, para mufassir (pakar tafsir Al-Quran) tidak satu kata dalam menspesifikasi, apakah ucapan dalam firman Allah tersebut adalah ucapan Allah atau ucapan Malaikat yang dikabarkan oleh Allah dalam Al-Quran, lantas kapan pula ucapan tersebut disampaikan kepada ruh orang-orang yang berhak masuk Surga.

Terlepas dari perbedaan tersebut, satu hikmah yang bisa kita petik, bahwa kita dituntun sekaligus dituntut untuk berusaha menjadi pribadi yang muthmainnah. Dengan harapan, kelak saat menghadap Allah, kepribadian kita yang muthmainnah tersebut tetap melekat dalam jiwa kita sehingga kita pun dipanggil oleh Allah sebagai jiwa yang muthmainnah, jiwa yang tenang.

Tengoklah Ibnu ‘Abbas, beliau salah satu orang yang tatkala wafat disebut sebagai jiwa yang tenang. Diriwayatkan dari Sa’id bi Jubair bahwasanya dia berkata, “Ketika Ibnu ‘Abbas meninggal, saya hadir dalam pemakamannya. Kemudian datanglah seekor burung putih yang tidak ada yang pernah melihat bentuk burung yang seperti itu, kemudian dia masuk ke dalam keranda jenazah dan tidak dilihat burung tersebut keluar dari keranda itu. Ketika beliau dikuburkan, dibacakanlah sebuah ayat di sisi kubur dan kami tidak mengetahui siapa yang membacanya, yaitu ayat, ‘Hai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Rabb mu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya! Kemudian masuklah ke dalam (jamaah) hamba-hamba-Ku, Dan masuklah ke dalam surga-Ku!’.” [Tafsir Ibnu Abi Hatim 10/3431; Al-Mustadrak li Al-Hakim no. 6312; Al-Mu’jam Al-Kabir li Ath-Thabrani no. 10429] Siapa tahu yang membaca ayat tersebut bukan manusia, melainkan malaikat yang mewujud rupa sebagai manusia. Sangat mungkin!

Hal yang serupa juga dialami oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq. Di dalam Tafsir Ibni Abi Hatim (10/3429) disebutkan riwayat dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu ‘Abbas tentang perkataan Allâh Subhanahu wa Ta’ala. ‘Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah menuju Rabb-mu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya!’ Beliau mengatakan, “Ketika ayat ini diturunkan, Abu Bakr Radhiyallahu anhu sedang duduk dan berkata, ‘Ya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam! Betapa indahnya ini.’ Kemudian diucapkan kepadanya, ‘Adapun perkataan ini akan diucapkan kepadamu.’ Di dalam Tafsir Ath-Thabari (24/424) terdapat riwayat dari Sa’id bin Jubair, bahwasanya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada Abu Bakr, “Perkataan ini akan diucapkan oleh seorang Malaikat kepadamu ketika wafatmu.”

Lalu bagaimana untuk bisa memiliki nafs muthmainnah? Dalam Psikologi Islam ada jawabannya. Menurut Prof. Dr. ‘Abdul Mujib dalam buku beliau Kepribadian Dalam Psikologi Islam (hal. 162), “Kepribadian muthmainnah dapat dicapai ketika jiwa diambang pintu ma’rifah Allah disertai dengan adanya ketundukan dan kepasrahan…. Kepribadian muthmainnah bersumber dari qalbu manusia, sebab hanya qalbu yang mampu merasakan ketenangan…. Qalbu selalu cenderung pada ketenangan dalam beribadah, menyintai, bertaubat, bertawakkal dan mencari ridha Allah… Jadi orientasi kepribadian ini adalah teosentris”

Berarti, jiwa yang tenang adalah jiwa yang menghadap Allah yang dulu semasa masih di dunia, selalu mengenal Allah. Otomatis akhlaqnya kepada Allah pun mulia. Kesimpulan Prof. Dr. ‘Abdul Mujib, selagu pakar psikologi Islam, tersebut adalah sangat tepat. Rupanya, hasil elaborasi dari beberapa penjelasan mufassirin era tabi’in dan tabi’ at-tabi’in.

Penafsiran pertama: Nafs muthmainnah adalah al-mushaddiqah (jiwa yang membenarkan atau mengimani) apa yang Allâh Azza wa Jalla firman. Ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbas dan pendapat Al-Hasan Al-Bashri mirip dengan ini yaitu: jiwa yang membenarkan apa yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala katakan dan mengimaninya.

Penafsiran kedua: Nafs muthmainnah adalah jiwa yang tenang dengan apa yang dijanjikan oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala. Ini adalah pendapat Qatâdah. Penafsiran ketiga: Nafs muthmainnah adalah jiwa yang yakin bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala adalah Rabb-nya, yang tunduk terhadap perintah Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan taat kepada-Nya. Ini adalah pendapat Mujâhid. Penafsiran keempat: Dia adalah jiwa yang ridha dengan takdir Allâh Subhanahu wa Ta’ala. Ini adalah pendapat ‘Athiyyah.

Dengan demikian, kita bisa menggaris bawahi, bahwa kita harus mengenal Allah, niscaya kita kelak akan mati dengan dipanggil sebagai jiwa yang tenang. Mengenal Allah bukan sebatas kenal dan tahu saja, melainkan ada konsekuensi praktisnya yaitu bersungguh-sungguh dalam menghambakan diri kepada Allah.

Dikatakan oleh Prof. Mujib (hal. 163), “Kepribadian ini merasa tenang dan menerima keyakinan fitriah. Keyakinan fitriah adalah keyakinan yang dihujamkan pada ruh manusia pada al-fithrah al-munazzalah di alam arwah dan kemudian dilegitimasi oleh wahyu Ilahi. Penerimaan ini tidak bimbang apalagi ragu-ragu seperti yang dialami oleh kepribadian lawwamah, tetapi penuh keyakinan.”

Sehingga, jiwa yang tenang adalah milik kita yang teguh prinsip dan penuh kesungguhan dalam mempertahankan keyakinan. Ketenangan jiwa memang sifatnya given transendentil (pemberian Allah), namun Allah memberikannya kepada orang-orang yang bersungguh-sungguh ingin mendapatkannya.

Masih menurut Prof. Mujib (hal. 164, bahwa adanya kepribadian muthmainnah didorong oleh dua faktor: Pertama faktor internal, yaitu daya qalbu manusia yang memiliki natur (fithrah) Ilahiyyah. Kedua faktor eksternal berupa penjagaan dari Allah oleh Malaikat dan hidayah dari Allah.

Maka, kita yang menginginkan memiliki jiwa yang tenang wajib untuk menjaga kekuatan qalbu kita tetap berada di atas jalan hidayah Allah sehingga Allah pun menjaga qalbu kita agar membangkitkan kepribadian yang tenang dengan bantuan penjagaan dari Malaikat. Manakala kita sudah berpegang pada SOP (standar operasional prosedur) ini, kita akan menjadi pribadi yang tenang dan insyaallah dipanggil oleh Allah sebagai jiwa yang tenang.

Betapa indahnya jika nanti kita mati, kita digelari oleh Allah dan para Malaikat sebagai jiwa yang tenang. Prestasi yang luar biasa. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwasanya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا حُضِرَ الْمُؤْمِنُ أَتَتْهُ مَلاَئِكَةُ الرَّحْمَةِ بِحَرِيرَةٍ بَيْضَاءَ فَيَقُولُونَ: اخْرُجِي رَاضِيَةً مَرْضِيًّا عَنْكِ إِلَى رَوْحِ اللهِ ، وَرَيْحَانٍ ، وَرَبٍّ غَيْرِ غَضْبَانَ ، فَتَخْرُجُ كَأَطْيَبِ رِيحِ الْمِسْكِ ، حَتَّى أَنَّهُ لَيُنَاوِلُهُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا ، حَتَّى يَأْتُونَ بِهِ بَابَ السَّمَاءِ فَيَقُولُونَ : مَا أَطْيَبَ هَذِهِ الرِّيحَ الَّتِي جَاءَتْكُمْ مِنَ الأَرْضِ ، فَيَأْتُونَ بِهِ أَرْوَاحَ الْمُؤْمِنِينَ فَلَهُمْ أَشَدُّ فَرَحًا بِهِ مِنْ أَحَدِكُمْ بِغَائِبِهِ يَقْدَمُ عَلَيْهِ ، فَيَسْأَلُونَهُ : مَاذَا فَعَلَ فُلاَنٌ ؟ مَاذَا فَعَلَ فُلاَنٌ ؟ فَيَقُولُونَ : دَعُوهُ فَإِنَّهُ كَانَ فِي غَمِّ الدُّنْيَا.

“Sesungguhnya seorang Mukmin ketika akan meninggal dunia, datanglah para Malaikat rahmat dengan membawa sutra putih dan mereka berkata, ‘Keluarlah dalam keadaan ridha dan diridhai menuju rahmat dan raihan (rizqi) Allâh dan menuju Rabb yang tidak murka. Kemudian keluarlah ruh tersebut seharum bau misk. Kemudian sebagian Malaikat memindah-mindahkannya kepada sebagian yang lain, hingga para Malaikat membawanya menuju pintu langit dan mereka (para Malaikat yang berada di sana) berkata, ‘Betapa wangi bau ini yang kalian bawa dari bumi.’ Kemudian mereka membawanya kepada ruh-ruh orang-orang yang beriman dan mereka sangat bahagia dengannya melebihi yang hilang dan kemudian datang kepadanya. Kemudian mereka berkata, ‘Apa yang telah dilakukan oleh si Fulan? Apa yang telah dilakukan oleh si Fulan?’ Kemudian mereka berkata, ‘Biarkanlah dia sesungguhnya dia masih merasakan kegundahan dunia.’ …” [Sunan An-Nasa`i no. 1833]

Komentar